Apa
kabarnya? Lama tak menyapa. Semoga ketika aku kunjungi, kegelisahan yang
meliputimu akan segera memudar. Aku tahu, begitu berat menyimpan dia yang tak
menyimpanmu juga. Keegoisanku yang kadang membuatmu salah mengerti bahwa dialah
yang aku butuhkan saat ini. Entahlah hati, mengapa urusan cinta teramat rumit
untuk kita bagi rata. Apa karena keadaan yang membuat kita lupa bahwa aku bukan
apa-apa dan siapa-siapa dimatanya. Atau karena dia memang ingin menarik ulurku?
Aku
tahu kamu pasti lelah merangkai semua. Berharap mimpi buruk ini akan segera
berakhir, berganti pengabulan doa yang terpanjat setiap malam. Tapi apa daya,
Tuhan mungkin lebih menyayangi kita dan menginginkan aku untuk lagi-lagi bersimpuh
meminta dia kembali berkali-kali, sampai saat ini.
Sakit,
begitu menyakitkan ketika orang yang kamu anggap sangat kamu cintai tidak
mencintaimu. Bahkan dengan lima tahun penantian, semuanya masih terlihat
kurang. Ada yang bilang bahwa rindu harus dibayar lunas. Tapi bagaimana dengan
rinduku padanya? Akankah terbayar lunas, ketika aku tahu bahwa dia tak pernah
memiliki rasa sepertiku? Akankah menjadi indah bila kenyataannya dia hanya akan
melihat kearahku ketika kupanggil. Mendekap namanya seperti mendekap angin,
kosong hanya merasakan dingin. Aku melihat punggungnya menjauh, memunculkan
sesak dalam dada. Lagi, dan lagi aku kembali pada hal yang tak seharusnya aku
miliki.
Semakin dia menjauh, semakin rasa
itu masuk tanpa permisi, meninggalkan berbagai tanya tanpa jawab.
Lelah,
jika aku harus berkata jujur aku lelah. Teramat sangat lelah, mencintainya
membuatku selalu berharap bahwa suatu saat nanti kita bisa bersama. Bahwa semua
penantianku akan terbayar lunas dan takan sia-sia. Bahwa cerita Itazurana Kiss
Love in Tokyo itu benar-benar bisa jadi nyata. Tapi ternyata aku baru sadar,
bagaimana jika semuanya tak bisa berakhir? Bagaimana jika aku benar-benar jatuh
terlalu dalam dengannya, lalu dia meninggalkanku sendiri. Dia bahagia dengan
pilihannya, dan aku sendiri lagi. Ah, apa enaknya sendiri? Tak ada teman
berbagi, duduk dengan sepi, membaca dengan angin mamiri, bercanda dengan udara
pagi. Begitulah gambaran kesendirian yang setidaknya akan aku miliki jika tak
ada lagi dia disisi.
Aku
pernah mendengar bahwa kita bisa cukup
bahagia melihat orang yang kita cintai itu bahagia. Bagiku itu hanya sebagai
penghibur belaka bukan? Memang ada orang yang benar-benar rela mengorbankan
segenap perasaan dan perjuangannya untuk orang lain? Sekalipun untuk membuatnya
bahagia, sekalipun demi melihat senyumnya. Aku yakin aku tak bisa serela itu.
Aku masih selalu menginginkannya, aku masih selalu menyebut namanya dalam doa,
aku masih selalu berharap tanpa sengaja bisa bertemu dengannya, menatap
wajahnya sekali lagi untuk menghilangkan semua rindu yang membekas diantara dinginnya
udara malam.
Wahai hati,
maafkan aku.
Maaf
karena talah membuatmu begitu teramat sangat terluka. Maaf telah membuatmu
merasakan cinta tak terbalas. Maaf telah membuatmu terbagi dan maaf telah
membuatmu menangis setiap hari. Aku tahu aku bodoh. Bodoh karena dengan
gampangnya selalu menunggu. Bodoh karena terlalu berharap bahwa doa yang
terpanjat akan segera terkabulkan. Bodoh karena selalu melihat kearahnya,
menatap punggungnya menjauh dan meninggalkan luka. Aku tahu Hati, aku tahu
semua kebodohan-kebodohan itu!! Tapi, bagaimana jika aku memang benar-benar
terlalu bodoh untuk mencintainya? Salahkah aku mencintainya, Hati? Salahkah aku
menginginkannya jika dia bukan milik siapa-siapa? Atau mungkin rasa ini memang
benar-benar salah?
Wahai
Hati, apa kau tahu? Berkali-kali aku ingin pergi meninggalkannya sendiri, membuatnya
berteman sepi. Tapi mengapa tak pernah tega? Mengapa hanya
pertanyaan-pertanyaan bodoh tanpa jawaban yang aku miliki? Bisakah salah
satunya terjawab? Bisakah jawaban itu muncul tanpa membuat kontra dalam rasa?
Mengapa perkara cinta bisa begitu serumit ini?
Oleh
karena itu, aku mohon hati, untuk kali ini saja, bisakah kita bekerja sama?
Membuat perjanjian tak kasat mata tentang cinta. Jujur aku lelah, mengakui
ketertarikanku dengannya pun tak bisa membuat rasa ini hilang. Menerima bahwa
dia tak memiliki rasa yang sama pun hanya membuat rasa yang kumiliki semakin
besar. Oleh karenanya, kuatkan aku hati, kuatkan keinginanku untuk pergi
darinya, kuatkan mulutku untuk tak lagi menyebut namanya dalam doa atau
mengaguminya dalam kata, kuatkan tekadku untuk berhenti menatap punggungnya
menjauh karena yang terakhir aku tahu bahwa punggung itu hanya akan menghadirkan luka baru untuk kita nikmati
bersama.
Jadi
Hati,saat ini aku hanya ingin kita bersama menyembuhkan luka. Bukan dengan
orang lain yang hadir dan membawa penawarnya.Tapi dengan penerimaan yang ikhlas
dan pelepasan yang tanpa sengaja. Aku ingin kita sama-sama tanpa sengaja tak
lagi memiliki rasa untuknya, tak lagi menatap punggungnya mendamba dan tak lagi
menyebutnya dalam doa. Aku ingin semua ini mengalir apa adanya, mengikhlaskan
yang seharusnya terikhlaskan dan menghilangkan yang seharusnya memang hilang.
Hati, jangan jatuh lagi dengan orang yang tak mencintaimu ya, karena itu hanya akan mengulang kembali kisah ini.
Teruntuk kamu
hatiku :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar